Alih-alih menjadi katalis pertumbuhan baru, aksi korporasi ini dinilai memiliki resep kegagalan yang sama dengan produk Tesla yang ditarik dari pasar sebelumnya.
Dengan serangkaian kelemahan strategis—mulai dari harga yang tidak cukup murah, pemangkasan fitur yang parah, hingga skema pembiayaan yang ganjil—kedua model ini berisiko tinggi untuk “mati sebelum berkembang” (dead on arrival).
1. Kritik Harga: Terlalu Mahal dan Melanggar Janji
Tesla membanderol Model 3 Standar seharga USD36.990 (sekitar Rp592 juta) dan Model Y Standar seharga USD39.990 (sekitar Rp640 juta). Harga ini gagal memenuhi ekspektasi pasar dan janji Elon Musk sendiri untuk menghadirkan mobil listrik seharga USD25.000 (sekitar Rp400 juta).
Kegagalan mencapai target harga ini semakin ironis jika melihat data dari BloombergNEF, yang menunjukkan biaya sel baterai Li-ion telah anjlok dari USD157/kWh pada 2018 menjadi hanya USD78/kWh pada 2024. Seharusnya, dengan penurunan biaya komponen utama, Tesla mampu menawarkan harga yang jauh lebih kompetitif.
Sebaliknya, kompetitor justru telah mendahului Tesla di segmen ini. Chevrolet Equinox EV dijual mulai dari USD32.995 (Rp528 juta), sementara Hyundai Ioniq 5 model 2026 akan dimulai dari USD35.000 (Rp560 juta). Posisi harga Tesla yang “tanggung” membuatnya kalah bersaing.
2. Kompromi Ekstrem: ‘Tesla Experience’ yang Hilang
Untuk mencapai harga tersebut, Tesla melakukan pemangkasan fitur secara ekstrem yang dinilai merusak proposisi nilai dan “pengalaman Tesla” itu sendiri. Beberapa kompromi yang paling dikritik antara lain:
Frunk (bagasi depan) tidak lagi kedap air karena paking karet dihilangkan.
Kaca spion harus dilipat secara manual, sebuah kemunduran besar untuk mobil modern.
Tidak ada kontrol fisik untuk kursi dan spion; semua pengaturan harus melalui menu di layar sentuh.
Sistem audio dipangkas dari 15 menjadi 7 speaker, tanpa subwoofer dan radio FM.
Fitur lane centering (Autopilot dasar) dihilangkan di AS, hanya menyisakan Traffic Aware Cruise Control (TACC).
Pemangkasan fitur ini, terutama pada frunk yang kini rentan basah dan berdebu, dianggap sebagai langkah penghematan yang “keterlaluan” dan merusak fungsionalitas dasar.
3. Jebakan Finansial: Skema Pembiayaan yang Mendorong Upgrade
Analisis paling tajam datang dari skema pembiayaan. Bunga kredit (APR) untuk model Standar ditetapkan lebih tinggi, yaitu 5,14%, dibandingkan model Premium yang hanya 2,99% – 3,99%.
Perbedaan bunga ini membuat selisih cicilan bulanan menjadi sangat tipis. Contohnya, cicilan Model Y Standar adalah USD728/bulan, hanya sedikit lebih murah dari Model Y Premium RWD seharga USD800/bulan.
Dengan selisih hanya USD72 (sekitar Rp 1,15 juta) per bulan, konsumen secara psikologis didorong untuk memilih varian Premium yang jauh lebih lengkap. Ini mengindikasikan bahwa model “murah” ini bukanlah upaya tulus untuk menjangkau pasar baru, melainkan strategi upselling untuk meningkatkan profitabilitas.
4. Mengulang Resep Kegagalan Cybertruck RWD
Strategi ini bukanlah hal baru dan telah terbukti gagal. Tesla pernah mencoba merilis Model 3 versi murah pada 2019 dan menariknya kembali dua bulan kemudian. Kasus yang paling relevan adalah Cybertruck RWD, yang dipasarkan dengan fitur yang dipangkas habis-habisan namun dengan harga yang tidak jauh berbeda dari varian AWD. Hasilnya, model tersebut tidak laku dan dibatalkan hanya lima bulan setelah peluncuran.
Lalu, Untuk Siapa Mobil Ini Dibuat?
Dengan target konsumen ritel yang tampaknya “dijebak” untuk melakukan upgrade, analis berspekulasi bahwa target pasar sesungguhnya adalah operator armada besar atau untuk kebutuhan internal Tesla sendiri.
Model yang lebih sederhana, tanpa fitur kenyamanan, lebih murah untuk dipelihara dan diperbaiki, menjadikannya kandidat ideal untuk armada Robotaxi Tesla di masa depan.
Namun, strategi ini pun diragukan, mengingat perusahaan rental besar seperti Hertz justru telah mengurangi armada Tesla mereka. Pada akhirnya, model “terjangkau” ini tampaknya lebih merupakan kendaraan prototipe untuk visi Robotaxi Tesla daripada produk serius untuk konsumen umum, menempatkannya pada risiko kegagalan pasar yangsangattinggi.